http://kickandy.com/blackberry/index.php/detail/2010/05/14/1880/1/NEGERI-5-MENARA
Kisah lima sahabat yang sedang mondok di sebuah pesantren, dan
kemudian bertemu lagi ketika mereka sudah beranjak dewasa. Uniknya,
setelah bertemu, ternyata apa yang mereka bayangkan ketika menunggu
Azhan Maghrib di bawah menara masjid benar-benar terjadi. Itulah
cuplikan cerita novel laris Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi yang
menjadi topik Kick Andy kali ini.
Ahmad Fuadi yang berperan sebagai Alif di novel itu berkisah, ia tak
menyangka dan tak percaya bisa menjadi seperti sekarang ini. Pemuda
asal Desa Bayur, Maninjau, Sumatera Barat itu adalah pemuda desa yang
diharapkan bisa menjadi seorang guru agama seperti yang diinginkan
kedua orangtuanya. Keinginan kedua orangtua Fuadi tentu saja tidak
salah. Sebagai “amak” atau Ibu kala itu, menginginkan agar
anak-anaknya menjadi orang yang dihormati di kampung seperti menjadi
guru agama.
“Mempunyai anak yang sholeh dan berbakti adalah sebuah warisan yang
tak ternilai, karena bisa mendoakan kedua orangtuanya mana kala sudah
tiada,” ujar Ahmad Fuadi mengenang keinginan Amak di kampung waktu
itu.
Namun ternyata Fuadi alias Alif mempunyai keinginan lain. Ia tak ingin
seumur hidupnya tinggal di kampung. Ia mempunyai cita-cita dan
keinginan untuk merantau. Ia ingin melihat dunia luar dan ingin sukses
seperti sejumlah tokoh yang ia baca di buku atau mendengar cerita
temannya di desa. Namun, keinginan Alif tidaklah mudah untuk
diwujudkan. Kedua orangtuanya bergeming agar Fuadi tetap tinggal dan
sekolah di kampung untuk menjadi guru agama. Namun berkat saran dari
”Mak Etek” atau paman yang sedang kuliah di Kairo, akhirnya Fuadi
kecil bisa merantau ke Pondok Madani, Gontor, Jawa Timur. Dan,
disinilah cerita kemudian bergulir. Ringkasnya Fuadi kemudian
berkenalan dengan Raja alias Adnin Amas, Atang alias
Kuswandani,Dulmajid alias Monib, Baso alias Ikhlas Budiman dan Said
alias Abdul Qodir.
Kelima bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini setiap
sore mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di
bawah menara masjid sambil melihat ke awan. Dengan membayangkan awan
itulah mereka melambungkan impiannya. Misalnya Fuadi mengaku jika awan
itu bentuknya seperti benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia
kunjungi kelak lulus nanti. Begitu pula lainnya menggambarkan awan itu
seperti negara Arab Saudi, Mesir dan Benua Eropa.
Melalui lika liku kehidupan di pesantren yang tidak dibayangkan selama
ini, ke lima santri itu digambarkan bertemu di London, Inggris
beberapa tahun kemudian. Dan, mereka kemudian bernostalgia dan saling
membuktikan impian mereka ketika melihat awan di bawah menara masjid
Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur.
Belajar di pesantren bagi Fuadi ternyata memberikan warna tersendiri
bagi dirinya. Ia yang tadinya beranggapan bahwa pesantren adalah
konservatif, kuno, ”kampungan” ternyata adalah salah besar. Di
pesantren ternyata benar-benar menjujung disiplin yang tinggi,
sehingga mencetak para santri yang bertanggung jawab dan komitmen. Di
pesantren mental para santri itu ”dibakar” oleh para ustadz agar tidak
gampang menyerah. Setiap hari, sebelum masuk kelas, selalu
didengungkan kata-kata mantera ”Manjadda Wajadda” jika
bersungguh-sungguh akan berhasil.
”Siapa mengira jika Fuadi yang anak kampung kini sudah berhasil meraih
impiannya untuk bersekolah dan bekerja di Amerika Serikat? Untuk itu,
jangan berhenti untuk bermimpi,” ujar Ahmad Fuadi memberikan nasihat.
( end )

Tidak ada komentar:
Posting Komentar